Peran
Walisongo dalam Menyiarkan Islam Di Nusantara
Adat istiadat adalah tata
kelakuan yang kekal dan trun-temurun dari generasi sau ke generasi lain sebagai
warisan sehingga kuat intregrasinya. Para wali songo dalam menyiarkan islam
menggunakan tradisi local sebagaimana yang berlaku di masyarakat dari pada
menentang/merombaknya.
Melalui tradisi inilah,
mereka memasukkan nilai-nilai ajaran agama. Ternyata dengan cara
yang demikian,
dalam waktu yang tidak lama agama islam telah terkenal dan di terima oleh
masyarakat.
Dampaknya,syariat islam yang
di perkenalkan di masyarakat adalah syariat yang sedikit banyak telah di
padukan dengan tradisi local yakni tradisi yang berlaku di masyarakat. Untuk
itu, para penyiar islam berusaha mewarnai dengan ajaran islam, sehingga betul-betul
menjadi tradisi islami.
Sejarah
Tentang Walisongo
Walisongo secara sederhana
artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat
tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa
sanga(mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki
peringkat wali. Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain
memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam
hubungan guru-murid.
Ahli-ahli sejarah tampaknya
sependapat bahwa penyebaran Islam di Jawa adalah para Walisongo. Mereka tidak
hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan
politik. Bahkan, seringkali seorang raja seakan-akan baru sah sebagai raja
kalau sudah diakui dan diberkahi oleh Walisongo. Islam telah tersebar di pulau
Jawa, paling tidak sejak Malik Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh
Awal Al-Islam diutus sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal
Abidin Bahiyah Syah (1349-1406) ke Gresik. Dalam percaturan politik, Islam mulai memosisikan diri
ketika melemahnya kekuasaan Majapahit yang memberi peluang kepada penguasa
Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di
bawah pimpinan Sunan Ampel, Walisongo bersepakat untuk mengangkat Raden Patah
sebagai raja pertama kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Di
samping kekuatan politik Islam yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangannya, Islam juga hidup di
masyarakat dapat memberi dorongan kepada penguasa non-muslim untuk memeluknya.
Agama Islam di Jawa pada masa kerajaan Islam telah menjadi agama rakyat.Sebelum
islam datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki system
tersendiri. Kepercayaan tersebut telah mengalami beberapa kali peralihan.
Pertama, nenek moyang bangsa Indonesia menganut Kepercayaan Animisme dan
Dinanisme. Kedua, melalui perkembangan peradaban masyarakat Indonesia muncul
kepercayaan baru yakni agama Hindu(Hinduisme) dan Buddha ( Buddhaisme ).
Aninisme dan Dinanisme
merupakan dua kepercayaan yang di anut oleh nenek moyang bangsa Indonesia
secara turun temurun hingga datangnya agama Hindu dan Buddha. Aninisme adalah kepercayaan yang menganggap bahwa
setiap benda mempunyai roh yang dapat mendatangkan keselamatan terhadap
kehidupan manusia. Kepercayaan Aninisme ini mempunyai empat aliran, yaitu:
pertama, kepercayaan yang menyembah kepada alam. Kedua, kepercayaan yang
menyembah kepada benda-benda. Ketiga, kepercayaan yang menyembah kepada
binatang, dan keempat, kepercayaan yang menyembah terhadap roh nenek moyang.
Sementara Dinanisme adalah
kepecyaan yang menganggap benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib (
kesaktian ), benda-benda tersebut dalam kondisi tertentu dapat menolong
manusia, misalnya tanduk,taring, keris, batu akik, dan sebagainya. Dalam upaya
mencari keselamatan dan pertolongan kepada benda-benda tersebut, biasanya di
lakukan dengan cara menyajikan ayam, telur, kepala kerbau, dan lainnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, setelah peradaban masyarakat Indonesia sedikit mengalami perubahan
dan kemajuan, masuklah kepercayaan baru, bukan hanya sebagai kepercayaan
semata, tetapi juga sebagai agama, yaitu agama Hindu dan Budha.
Agama merupakan agama yang
lahir di negeri India sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Agama ini memiliki
kitab suci yang di sebut dengan Weda dan mempunyai kepercayaan terhadap tiga
Dewa yang di sebut Tri Murti ( Dewa Brahmana sebagai dewa pencipta alam, Dewa
Wisnu sebagai dewa pemelihara alam dan Dewa Siwa sebagai dewa perusak alam )
Masyarakt dalam agama hindu
dibagi menjadi empat kasta, yaitu :
1. Kasta Brahmana ( kelompok bangsawan/agamawan
)
2. Kasta Ksatria ( kelompok prajurit/tentara)
3. Kasta Waisya ( kelompok rakyat jelata )
Agama Budha merupakan agama
yang yang juga lahir di India setelah agama Hindu, yaitu sekitar tahun 500
sebelum Masehi. Memiliki kitab suci yang bernama tripitaka, yang berarti himpunan tiga kitab suci agama Buddha.
Mengajarkan tentang aturan-aturan hidup, dan penjelasan-penjelasan agama
Buddha.
Adapun penjelasan tokoh-tokoh Walisongo adalah
sebagai berikut:
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik
Ibrahim)
Syekh Maulana Malik Ibrahim
berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh
Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum
beliau datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya
makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.
Dikalangan rakyat jelata
Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di
kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan
Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama
sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya disisi
Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik
dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh. Di Gresik, beliau juga
memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat.
Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan
ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai
ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim
dari istrinya bernama Dewi Candrawulan.
Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan
pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang
dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan
pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan
Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat),
dan Maulana Ishak. Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di
kalangan istana Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana
Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja
Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan
Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama
Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada
tahun 1479 bersama wali-wali lain. Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel
menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju
bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya
tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama
Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua
kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya
secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat
dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu
dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam.
Beliau wafat pada tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.
3. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)
Nama aslinya adalah Raden
Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli
ilmu kalam dan tauhid.Beliau dianggap sebagai
pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di
pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali
ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang
menjadi muridnya berdatangan dari
berbagai daerah. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama
Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang
sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan
tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke
dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid,
sikap menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu
diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang
mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis
macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.
Sunan Bonang
wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.
4. Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan Giri merupakan putra
dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran
Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunana
Giri tidak bisa dilepaskan dari proses
pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang
secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam
penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer. Sunan Giri atau Raden Paku
dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat
Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama
40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat
pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya
mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah
Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok
pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya daam waktu
tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat
berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya
sendiri waktu muda melalui berdagang tau bersama muridnya. Beliau juga
menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak
suweng dan lain-lain.
5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah anak
bungsu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi
Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1450. Nama lain dari Sunan Drajat yang
terkenal adalah Raden Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim mendirikan surau dan
pesantren.Banyak orang yang datang untuk
berguru agama Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai dan
berkembang menjadi kampung besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian dirubah
menjadi Banjaranyar. Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikam,
dengan cara-cara bijak dan tanpa memaksa. Dalam penyampaiannya beliau menempuh
lima cara. Pertama lewat pengajian secara langsung dimasjid atau di
anggar.Kedua melalui pendidikan di pesantren.Ketiga memberi fatwa atau petuah
dalam menyelesaikan masalah. Keempat melalui kesenian tradisional dan yang
kelima menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional sepanjang
tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan Drajat juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu
sudah mendarah daging dikalangan masyarakat.Salah satu tembang ciptaan beliau adalahtembang Mijil.
Sunan Drajat juga terkenal
dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang kalunyon lan wuto,
paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang kudanan (memberi
tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberi
pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan memberi payung kepada orang yang
kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di dalam Islam yang akan tetap
relevan sampai kapanpun. Pada masa akhir Majapahit terjadi krisis sosial,
ekonomi, politik.Sunan Drajat menjadi juru bicara yang membela rakyat
tertindas.Beliau mengecam tindakan elit
politik yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi.
Dalam bidang sastra budaya beliau
menciptakan:
1) Berpartisipasi dalam pembangunan masjid Demak
2) Membantu Raden
Patah
3) Tembang Pangkur.
6. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra
Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya
anak muda yang patuh dan kuat kepada
agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang
terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten
dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu
tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir. Setelah diusir
selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang.
Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di
depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden
Sahid disebut Sunan Kalijaga. Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka
penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian
lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti
Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa
terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada
awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan
Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak
pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana,
tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan Kudus menyiarkan agama
Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam
bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika.
Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al- ‘ilm (wali
yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak
penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ada cerita yang mengatakan
bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan pernah
berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas
jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah wilayah (daerah
kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut
dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu
dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun
1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus)
dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota
di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural,
Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.
Cara-cara berdakwah Sunan
Kudus adalah sebagai berikut: a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1. Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah 2. Menghindarkan konfrontasi
secara langsung dalam menyiarkan agama islam 3. Tut Wuri Handayani 4. Bagian
adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah. b. Merangkul masyarakat Hindu seperti
larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci
dan keramat. c. Merangkul masyarakat Budha Setelah masjid, terus Sunan Kudus
mendirikan padasan tempat wudlu denga
pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo
Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan berlipat delapan
atau asta sunghika marga”. d. Selamatan Mitoni Biasanya sebelum acara selamatan
diadakan membacakan sejarah Nabi. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan
dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul
husna yang berangka tahun 1296 H atau
1878 M.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putera
pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Nama asli beliau
adalah Raden Umar Said, sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Dalam
berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang telah dilakukan dengan sukses oleh
ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik Jawa (gamelan). Sasaran yang digarap
oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota.
Oleh karena itu, Sunan Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan
karena itulah gelar Sunan Muria diberikan oleh masyarakat.
Beliau adalah putra dari
Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah
ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak
sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau
adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya
wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan
beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak
mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino,
ngatus dino dan sebagainya. Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan
Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan
Muria lebih senang berdakwah pada rakyat
jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna Muria
dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa ngeli yaitu menghanyutkan diri
dalam masyarakat
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah,
beliau lahir di Makkah. Banyak versi yang menceritakan tentang keberadaan Sunan
Gunungjati ini, tetapi cerita yang termasyhur adalah menikahnya Sunan
Gunungjati dengan seorang puteri Cina bernama Ong Tien, yang kemudian namanya
diganti dengan Nyai Ratu Rara Semanding. Sunan Gunung Jati memang mempunyai
hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka menjalin hubungan baik tersebut,
pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan bertemu dengan kaisar Hong Gie,
serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho,
dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk agama Islam.Disini Sunan
Gunungjati membuka praktek pengobatan,dan
banyak masyarakat Cina yang berobat kepadanya.Kesempatan ini digunakan
sebaik- baiknya oleh beliau untuk berdakwah. Setelah selesai menuntut ilmu pada
tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau
bersama ibunya disambut gembira oleh
pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal
dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk
meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana.
Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra
Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu
pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam
dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain. Setelah Cirebon resmi
berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran,
Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia
mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti
Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan
Gunungjati membangun masjid pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang
Ciptarasa. Pembangunan masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan
Walisongo. Bahkan juga diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan
sebuah tiang tatal. Masjid ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo untuk membicarakan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.
Peran Walisongo dalam Penyebaran dan Perkembangan Islam di Indonesia
Sejarah walisongo berkaitan
dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses gemilang perjuangan
para Wali ini tercatat dengan tinta emas.Dengan didukung penuh oleh kesultanan
Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar manyarakat Jawa,
mulai dari perkotaan, pedesaan, dan
pegunungan.Islam benar-benar menjadi agama yang mengakar.
Para wali ini mendirikan
masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama.
Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga pendidikan
tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan
Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan
ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal
bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain
prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan
ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya Walisongo adalah
nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali
tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh walilainnya. Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Kesembilan wali ini
mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan
walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
1. Sebagai pelopor
penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di
daerahnya masing-masing.
2. Sebagai para pejuang yang
gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3. Sebagai orang-orang yang
ahli di bidang agama Islam.
4. Sebagai orang yang dekat
dengan Allah SWT karena terus-menerus
beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5. Sebagai pemimpin agama
Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut
cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai guru agama Islam
yang gigih mengajarkan agama Islam kepada
para muridnya.
7. Sebagai kiai yang
menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8. Sebagai tokoh masyarakat
Islam yang disegani pada masa hidupnya. Berkat kepeloporan dan perjuangan wali
sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai
ke seluruh daerah di Nusantara
Sumber :